Papeda
Papeda adalah salah satu makanan pokok yang terbuat dari pati sagu yang diekstrak dari Metroxylon sagu. Papeda memiliki konsistensi seperti lem, hambar, dan memiliki nutrisi. Bahan baku untuk membuat papeda sangat mudah dicari di Indonesia, akan tetapi pengetahuan masyarakat mengenai papeda masih kurang, padahal memiliki nutrisi dan manfaat yang baik. Dalam 100 g papeda mengandung, energi 61 kkal, karbohidrat 14,9 g, protein 0,2 g, lemak 0,1 g, serat 0,5 g, air 84,8 g, kalsium 3 mg, zat besi 0,2 mg, natrium 4 mg (Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 2009).
Papeda berasal dari berbagai tepung olahan sagu yang memiliki tekstur seperti lem dan lengket dan gurih. Itu terjadi dari pati sagu yang menghasilkan gel karena proses gelatinisasi. Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan 73% amilopektin. Kadar amilosa berpengaruh pada dengan daya serap air sedangkan kadar amilopektin berpengaruh terhadap swelling power (kemampuan pati untuk mengembang). Kadar amilosa yang tinggi menyebabkan pati sagu akan bersifat kering, kurang lekat, dan kemampuan daya serap air yang tinggi (higroskopis). Pati sagu memiliki kekuatan lebih tinggi dari pati gandum, akar singkong (tapioka), dan kentang. Pasta adonan dari tepung sagu memiliki warna buram dan viskositas yang cukup kuat. Pasta yang hasilkan cukup tebal untuk sebagian besar pengolahan terutama sebagai bahan adonan. Salah satu cara memanfaatkannya dengan mengubahnya menjadi papeda.
Persiapan dan Penyajian Papeda
Untuk membuat papeda (1 porsi/orang), biasanya orang Papua menggunakan tepung sagu dengan cara mengeringkannya terlebih dahulu menjadi tepung sagu, dengan cara dikeringkan tepung sagu tidak merubah karakteristik dari sagu tersebut. Pada awalnya, campurkan 150 g tepung sagu ke dalam campuran air mendidih dan garam secukupnya, lalu masak dan aduk perlahan hingga mengental atau menggumpal. Untuk mengaduk papeda, orang Papua menggunakan dua batang kayu dan terus menggulungnya satu demi satu sampai tepung menjadi kental, sedangkan orang Maluku menggunakan sendok panjang yang disebut aru-aru dan mengaduknya dalam mangkuk yang terbuat dari tanah liat yang disebut sempe. Jeruk nipis juga bisa ditambahkan ke dalam campuran. Rasio antara sagu dan air adalah 3: 1. Saat dimasak, warnanya akan berubah menjadi pasta yang lebih transparan. Setelah mengental, Papeda siap dimakan selagi hangat.
Papeda tidak dimakan sebagai hidangan tunggal tetapi kemungkinan besar disajikan dengan bumbu lain. Ada dua jenis, sup ikan putih dan sup ikan kuning. Sup putih adalah salah satu makanan khas Maluku yang jarang ditemukan di provinsi lain. Papeda yang siap dicampur dengan saus putih terbuat dari campuran ikan kakap, ikan tenggiri, tuna, ataupun mubara (Trachinotus carolinus). Bahan yang dibutuhkan untuk memasak ikan kuah kuning antara lain 300 g ikan tongkol atau kakap merah, 5 siung bawang merah, 4 siung bawang putih, 2 butir kemiri, 3 g jahe parut, 2 batang serai, 2 lembar daun jeruk, 2 lembar daun salam, 5 sdm minyak goreng, cabe rawit secukupnya, garam secukupnya, gula secukupnya, dan 500 mL air. Cara memasaknya, pertama-tama bumbu dibuat dengan cara menghaluskan dengan cara memblender bawang merah, bawang putih, kemiri, jahe parut, dan kemiri. Selanjutnya tumis bumbu dengan ikan tongkol, masak hingga harum dan matang selama 7 hingga 10 menit. Ikan kuah kuning siap disantap bersama papeda.
Proses pembuatan papeda:
- Tepung sagu, air, dan garam dimasak
- Tunggu hingga mengental
- Papeda siap disajikan
Proses pembuatan ikan kuah kuning:
- Bawang merah, bawang putih, kemiri, jahe parut dihaluskan
- Bumbu halus ditumis bersama ikan tongkol, serai, cabai rawit, daun jeruk, garam, gula, dan air hingga matang.
- Ikan kuah kuning siap disajikan.
Mitos dan tradisi
Papeda
sudah diwariskan secara turun-menurun dari nenek moyang. Nilai tradisi
mendukung sagu untuk orang Papua sebagai makanan pokok mereka, papeda. Bagi
masyarakat pesisir, terutama Sentani, Papeda memiliki peran sebagai ‘petugas’ yang damai. Papeda
adalah singkatan dari Papua Penuh Damai. Misalnya, ketika terjadi perkelahian,
Anda harus berdamai satu sama lain. Saat damai ini biasanya dilakukan dengan
makan bersama. Papeda disajikan dalam wadah besar sehingga semua orang yang
hadir akan berkumpul dan berputar untuk menikmati papeda bersama-sama. Peristiwa ini
merupakan nilai budaya yang diwarisi dari generasi ke generasi oleh nenek
moyang orang Papua. Sagu disamakan dengan alat, sagu menjadi alat bernilai
tinggi. Nilai ini dirasakan oleh masyarakat Sentani, terutama dalam pengolahan
sagu. Pemrosesan sagu ini menciptakan suasana yang harmonis. Dalam proses ini,
komunitas laki-laki akan menebang pohon sagu dan melabuhkannya, sementara para
wanita akan memeras empulur batang sagu yang disebut ela atau mele
untuk menghasilkan tepung sagu yang akan dikonsumsi oleh banyak orang. Melalui
proses ini, orang secara tidak langsung diajarkan untuk membangun harmoni,
meningkatkan kerja sama, dan membangun
komunitas atau aliansi yang harmonis.
Terdapat
ungakapan yang berasal dari masyarakat Sentani yaitu wari taise nekande
yang berarti bila tidak makan papeda seperti tidak adanya harapan hidup. Sedangkan
ungkapan wari pi enye yang berarti berhubungan dengan kerohanian dan
mendalam yaitu manusia hanya hidup melalui sagu. Masyarakat Sentani menyebutkan
Tuhan sebagai pemberi hidup, dimana masyarakat memelihara sagu di dalam
hidupnya maka mereka memelihara Tuhan dalam kehidupan mereka. Sebab itu, kedua
makna dari makan sagu sangat rohani, bila tidak makan sagu maka terasa hampa
begitu juga hidup akan terasa hampa bila tanpa adanya Tuhan.
Semua orang Papua menghormati sagu lebih dari sekadar
makanan biasa. Manusia mengorbankan dirinya demi memberi makan anak dan
keturunannya. Di Raja Ampat orang
memperlakukan sagu seperti hal yang berharga bagi mereka. Mereka
bahkan mengadakan upacara khusus setelah sesi panen sebagai ucapan syukur dan
penghormatan kepada Tuhan karena memberi mereka banyak persediaan makanan untuk
setiap keluarga. Papeda sedang disajikan di beberapa acara seperti hidangan
muncul pada upacara tradisional Papua, yang disebut Watani Kame, yang merupakan
upacara peringatan siklus kematian seseorang. Penduduk asli
percaya bahwa kerabat mereka yang mati telah mengakhiri siklus untuk bertemu leluhur
mereka. Papeda disajikan untuk semua kerabat yang membantu upacara. Satu lagi,
untuk persembahan dari keluarga wanita saat pernikahan diadakan. Papeda akan
dikonsumsi oleh kedua mempelai sebagai simbol bahwa pernikahan mereka resmi.
Mereka percaya bahwa sagu dalam papeda memiliki peran sebagai mediator antara
bumi dan rakyatnya yang dapat memberikan kesuburan bagi seseorang.
Maluku dan Papua memiliki tradisi yang berbeda. Di
Inanwatan, Papua, papeda
dalam bahasa Inanwatan disebut dao. Papeda menjadi makanan
penting yang disajikan pada upacara kelahiran anak pertama yang biasanya
dipasangkan dengan hidangan lain seperti daging babi. Pulau Seram di
Maluku, etnis Nuaulu memiliki perayaan ritual suci pubertas perempuan, tetapi
dalam etnis Hualu wanita menstruasi dilarang
untuk
memasak papeda karena proses merebus dianggap tabu.
Komentar
Posting Komentar