BESTIK SOLO
Bestik solo merupakan makanan yang terdiri dari irisan daging
sapi, kentang, buncis, wortel, dan selada yang disajikan dengan saus atau kuah
kecap. Makanan ini merupakan akulturasi dari makanan Barat yang sering
dikonsumsi oleh orang Belanda yaitu beef steak. Karena orang Jawa pada
masa itu sulit untuk mengucapkan kata “beef steak” maka terciptalah kata
“bestik”, yang kemudian dikenal dan populer dengan sebutan bestik solo hingga
saat ini.
Berkembangnya bestik solo sangat erat kaitannya dengan masuknya
kolonial Belanda ke Indonesia. Interaksi budaya yang terjadi berawal dari
adanya hubungan politik antara Belanda dan Kerajaan Mataram di Jawa.
Keterlibatan Belanda (VOC) dalam kegiatan politik dan pemerintahan memainkan
peranan penting terhadap perkembangan Kerajaan Mataram khususnya pada masa
peperangan (tahun 1675-1755). Awalnya, untuk menjamu bangsawan Belanda di
Keraton Kasunanan Surakarta dibuatlah makanan yang cocok untuk orang Belanda dan
juga orang Jawa di Keraton. Maka dari itu, dibuatlah bestik solo oleh juru
masak dari Keraton yang dimodifikasi dari beef steak. Dengan menyajikan
daging dan sayur ala orang Eropa tetapi tetap kental dengan rasa masakan Jawa
yang kemudian menjadi makanan khas para bangsawan di Keraton Kasunanan
Surakarta.
Makanan ini yang berasal dari kalangan bangsawan Surakarta,
mengakibatkan adanya penyesuaian dari segi bumbu dan rasa. Jika orang Belanda
hanya membumbui daging dengan garam dan lada, orang Surakarta menambahkan pala
pada bumbunya. Sehingga makanan ini berisi daging cacah yang dimasak dengan
kuah kecap, dibumbui merica dan pala. Variasi hidangan dari bestik solo pun
mulai bermunculan seiring berjalannya waktu. Awalnya bestik solo dihidangkan
untuk menjamu bangsawan Belanda di Keraton Kasunanan Surakarta. Beef Steak
yang seharusnya menggunakan daging sapi, pada bestik solo diganti dengan daging
kerbau karena para bangsawan percaya bahwa sapi merupakan hewan yang suci.
Tetapi ketika bestik solo sampai ke masyarakat dilakukan penggunaan
daging kerbau digantikan dengan daging sapi. Hal ini terjadi dikarenakan pada
saat itu masyarakat Surakarta percaya bahwa hadirnya “kerbau bule” (kerbau
albino) merupakan jelmaan dari Kya’i Slamet serta mereka menganggap bahwa hewan
tersebut mempunyai kekuatan gaib dan dapat memberikan berkah (Prasetyo, 2017).
Seiring berjalannya waktu, banyak masyarakat yang mengganti daging sapi menjadi
lidah sapi atau daging ayam karena harganya yang lebih murah.
Sumber:Otniel Yosia (@otisarioti) |
Komentar
Posting Komentar