Ingkung Ayam

Sejarah Ingkung Ayam

Makanan satu ini merupakan bentuk budaya Jawa yang sudah hadir sebelum adanya pengaruh agam di Indonesia. Ingkung ayam didasarkan pada kesadaran masyarakat jaman dahulu mengenai hubungan antar manusia, hubungan manusia dan alam, serta hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Hal tersebut merupakan prinsip dalam budaya Jawa yang disebut dengan kejawen yang berarti pola atau pandangan hidup orang Jawa yang hidup berdasarkan moralitas dan religi yang tercerminkan dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, serta hubungan antara manusia dengan manusia lainnya yang dimana prinsip ini tidak dapat terpisahkan. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup terlepas dari orang lain dalam melakukan segala sesuatu hal.

Kejawen diturunkan secara turun temurun dari nenek moyang di Jawa sejak ribuan tahun lalu sebelum agama masuk ke Jawa. Kejawen meliputi seni dan budaya, tradisi, ritual, sikap, dan filosofi. Kejawen dianggap sebagai perilaku. 

Ingkung ayam pada masanya memanfaatkan ayam jantan yang berasal dari hutan. Pemilihan ayam dikarenakan ayam hewan yang paling sering ditemui dan berhubungan dekat dengan manusia. Konsumsi ayam ingkung hanya dilakukan untuk acara syukuran seperti syukuran sebagai sesaji untuk anak yang baru saja naik kelas maupun acara kelahiran. Acara berkutat pada rasa syukur masyarakat bukan berdasarkan dalam memperingati hari-hari keagaman. Sesaji digunakan dalam acara-acara tersebut sebagai bentuk perwujudan dari pikiran, keinginan, dan perasaan untuk dekat dengan Tuhan. Seiring berkembangnya jaman, ingkung ayam dapat dikonsumsi tanpa adanya acara syukuran dan tidak dikhususkan pada acara spesial.

Secara tradisional ingkung dimasak dengan kendil. Proses pemasakan ingkung ayam dibiarkan seharian hingga tulang ayam menjadi empuk. Tumpeng ayam yang sudah jadi didoakan dan dibagi-bagikan oleh kepala keluarga maupun tetua yang ada. Kepala ayam bersama dengan puncak tumpeng akan diberikan kepada orang yang didoakan agar orang tersebut mendapatkan berkat sebanyak-banyaknya karena kepala ayam diibaratkan semakin dekat dengan sumber pemberi berkat yaitu Tuhan. Bagian tubuh ayam lainnya akan diberikan kepada tetangga dan anggota keluarga guna mempererat hubungan antar sesama manusia. Ingkung akan dibagikan dengan jumlah bagian yang sama pada setiap orang yang hadir.

Persiapan ingkung ayam merupakan makanan pokok dalam upacara syukuran yang akan dinikmati bersama dengan nasi kuning. Ayam yang sudah dibersihkan dilumuri dengan bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan, lalu dibungkus dengan pelapah daun aren. Bumbu yang digunakan antara lain bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, daun jeruk, dan daun salam.

Gambar 1. Ingkung Ayam

Ingkung ayam dapat dijumpai pada berbagai acara tradisional. Berikut merupakan kehadiran ingkung ayam dalam berbagai acara tradisional:

1. Satu Suro
Satu suro adalah pergantian tahun menurut penanggalan Jawa. Pada malam 1 Suro, masyarakat Jawa pada umumnya akan melakukan berbagai ritual seperti tirakatan, tuguran, dan lek-lekan. Terdapat juga kitab pusaka pada malam Satu Suro yang bertujuan untuk memohon keselamatan pada Tuhan. Ingkung ayam sebagai sesaji hadir dalam malam Satu Suro, hal ini bertujuan untuk dipersembahkan dan dianggap melambangkan manusia yang berada di dalam rahim dan masih suci.

2. Mitoni atau Tingkeban
Acara ini merupakan upacara tradisional yang dilaksanakan pada saat usia kandungan seorang calon ibu mencapai tujuh bulan. Hal ini dilakukan untuk memohon keselamatan untuk calon ibu dan calon bayi. Bila upacara tidak dilakukan, maka dipercaya akan terjadi petaka. Ingkung ayam disimbolkan sebagai bentuk sembah sujud pada Tuhan pada upacara serta manusia harus bisa taat pada Tuhan agar mendapatkan belas kasih untuk kesalahan yang telah dilakukan. Pada upacara Tingkeban juga dapat disimbolkan sebagai harapan bayi akan terus memiliki ketulusan dan kebersamaan dalam keadaan apapun.





Komentar

Postingan Populer