Kaledo

Kaledo adalah sup bening dengan tulang kaki sapi dan sumsumnya dicampur bumbu berupa cabe rawit, garam, dan asam jawa yang dihaluskan. Kaledo berasal dari bahasa Kaili, dimana "Ka" berarti tidak, dan "Ledo" berarti keras. Makanan khas Sulawesi  Tengah ini dapat dijumpai ini pada saat hari-hari besar, seperti Lebaran atau Idul Fitri yang disajikan dengan Burasa (nasi santan yang dibungkus daun pisang). Cara memakannya yaitu dengan cara menuangkan kuah ke dalam tulang dengan sendok (pastikan tulang terdapat alas tertutup) kemudian menyedot sumsum yang ada dalam tulang kaki sapi dengan sedotan. Hidangan kaledo serupa dengan sop sumsum akan tetapi yang menjadi pembeda adalah bumbunya yang lebih sedikit dan kuahnya lebih bening dibandingkan dengan sop sumsum.
Gambar 1. Kaledo

Alat dan bahan untuk membuat kaledo antara lain (6 orang/porsi):
Alat:
  • Panci besar
  • Sendok sayur
  • Kompor
  • Talenan
  • Wadah untuk menyimpan lemak
Bahan:
  • 2 Liter air
  • 1 kg kaki lembu/sapi dipotong menjadi dua
  • 2 sdt garam (10 gram)
  • 5 buah asam jawa mentah, utuh, cuci bersih
  • 20 buah cabai rawit merah
  • bawang merah goreng secukupnya
  • 1 butir jeruk nipis
  • es batu
 Cara membuat Kaledo:
  1. Kaki Lembu dibakar hingga kehitaman dan bulu-bulunya habis (jika kaki belum bersih)
  2. Bagian luar dikeruk hingga tampak lapisan kulit berwarna putih (bila belum bersih)
  3. Tulang kaki direbus selama 30 menit dan suhu kuah dibiarkan turunn hingga 36-45 derajat celcius pada suhu ruang
  4. Lemak dapat diangkat karena bentuknya berubah menjadi padat. Lemak dibuang menggunakan es batu yang diletakkan di atas sendok sayur, dan digunakan bagian bawah sendok untuk memadatkan lemak yang mengembang di atas kuah, lalu lemak menempel.
  5. Daging diangkat dan dipotong-potong sesuai dengan selera dan dimasak kembali
  6. Tulang didihkan kembali bersama garam, asam jawa, dan cabai rawit halus sambil diaduk hingga merata
  7. Kaledo siap disajikan bersama bawang merah goreng dan diberi air jeruk nipis.
Asal mula Kaledo:
Cerita mengenai Kaledo diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Kaili hingga saat ini. Cerita tersebut dipopulerkan melalui buku berjudul Gonenggati oleh sang penulis Jamrin Abubakar. Ada seorang yang murah hati membagikan potongan sapi setelah upacara penyembelihan sapi. Saat itu, orang Jawa datang pertama kali ke tempat penyembelihan dan mengambil daging sapi. Daging tersebut diolah menjadi sate dan bakso. Lalu orang makassar datang mengambil jeroan sapi karena daging sapi yang sudah habis dibagi-bagikan. Isi perut sapi tersebut diolah menjadi Coto Makssar yang merupakan khas etnis Makssar. Datanglah orang Kaili yang hanya dapat mengambil tulang dari sapi akibat jeroan dan daging yang sudah habis dan membawanya ke rumah. Di rumah, seorang pria yang membawa tulang kaki sapi meminta istrinya untuk memasak tulang tersebut. Sang istri meminta suaminya untuk memeriksa apakah daging yang terdapat pada tulang tersebut sudah empuk atau belum dalam bahasa Kaili, yaitu "Naka'a?" (keras?), balas suaminya "Ledo" (Tidak/sudah empuk). Terciptalah kata Kaledo yang berarti tidak keras atau empuk. Setelah daging menjadi empuk, maka sang istri menyajikan Kaledo untuk keluarganya dalam bentuk sup tulang kaki sapi dengan kuah yang berasa asam dan pedas






Komentar

Postingan Populer