Sejarah dan Budaya Kue Bulan

Tradisi dan sejarah kue bulan

Kue bulan adalah kue tradisional masyarakat Tionghoa yang menjadi sajian wajib pada perayaan festival musim gugur setiap tahunnya. Di Indonesia, kue bulan secara umum dikenal dalam bahasa hokkian-nya, gwee pia atau tiong chiu pia. Kue bulan merupakan salah satu makanan khas yang terdapat pada Festival Pertengahan Musim Gugur (MidAutumn Festival) atau di Indonesia dikenal juga dengan sebutan Festival Kue Bulan. Fesitval kue bulan merupakan perayaan hari sukacita keluarga yang dilambangkan dengan kehadiran bulan purnama penuh, serta untuk merayakan hasil panen atau sebagai bentuk syukur. Festival ini selalu diadakan pada bulan ke-8 tanggal 15 pada penanggalan Cina (Peh Gwe Cap Go) atau pada sekitar bulan Agustus hingga September pada kalender masehi. Bapak Ir. Azmi Abubakar selaku pendiri dan pemilik Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang telah mempertahankan dan melestarikan budaya Tionghoa sejak tahun 2011. Menurut beliau, secara umum kue bulan memiliki isian dari berbagai jenis kacangkacangan dimulai dari kacang kedelai, kacang hijau, dan kacang merah sampai dengan bunga teratai, tetapi semakin modern atau masa kini yang memiliki isian kue bulan lebih bervariasi berupa keju, cokelat, maupun durian. Sementara tradisi dan budaya kue bulan berumur sangat tua, dimulai atau dibawa sejak immigran
Tionghoa pertama kali datang ke Indonesia.

Kisah Hou Yi
Tradisi festival ini awalnya dimulai oleh para petani yang memohon kepada Dewa Bumi agar diberi musim yang baik, dan pada akhir masa panen yang bertepatan sekitar pertengahan bulan ke-8 (imlek), para petani akan mengadakan ritual pemujaan terhadap Dewa yang telah memberikan hasil panen yang berlimpah sebagai rasa syukur dan ucapan terima kasih, banyak orang percaya bahwa festival Pertengahan Musim Gugur berasal dari kebiasaan ini. Sementara, terdapat sebuah legenda yang cukup terkenal yang menjadi salah satu rujukan untuk festival kue bulan. Legenda tersebut adalah legenda mengenai seorang pemanah bernama Hou Yi (后羿), konon zaman dahulu di atas langit terdapat sepuluh matahari, hal ini tentu saja membuat bumi menjadi kering sehingga rakyat hidup cukup menderita. Hou Yi memanah sembilan buah matahari hingga tersisa hanya satu matahari. Semenjak itu Hou Yi dikenal sebagai pahlawan dan kemudian menjadi Raja di China. Suatu hari Hou Yi pergi ke pegunungan Kun Lun dan bertemu dengan Ratu Xi Wang Mu (西王母) yang memberinya obat mujarab yang bisa membuatnya naik ke langit dan menjadi dewa. Hou Yi menyerahkan obat tersebut pada istrinya, Chang’e (嫦娥). 

Peng Meng (彭蒙), seorang pegawai istana yang tamak mengetahui hal itu lalu berencana untuk mencuri ramuan tersebut. Suatu hari saat Hou Yi tidak berada di istana, Peng Meng menyusup ke kamar Chang’e dan memaksa Chang’e untuk menyerahkan obat tersebut. Sadar bahwa dirinya tidak mampu melawan Peng Meng, Chang’e lalu mengambil obat tersebut dan memakannya sambil melarikan diri. Chang’e merindukan suaminya, dan tidak ingin berpisah jauh darinya. Maka Chang E memutuskan tinggal di bulan, tempat terdekat dari bumi, agar ia senantiasa merasa dekat dengan sang suami. Saat Hou Yi pulang, ia sangat sedih setelah mengetahui apa yang telah terjadi. Ia kemudian membangun sebuah altar di kebun milik Chang’e untuk mengenang sang istri. Disana ia meletakkan makanan kesukaan Chang’e dan buah-buahan segar sebagai persembahan kepada sang istri di bulan. Sementara, di bulan, Chang’e ditemani oleh seekor Kelinci Giok agar tidak kesepian.

Ketika itu, seorang Dewa yang mengetahui kejadian ini merasa iba. Beliau mendatangi Hou Yi dalam mimpinya, dan mengajarinya cara bertemu dengan Chang’e. Dewa itu menyuruh Hou Yi untuk membuat kue bulan, dan memanggil nama Chang’e secara terus menerus saat puncak bulan purnama. Ketika bulan berada paling dekat dengan bumi (bulan 8 tanggal 15 Imlek). Hou Yi akhirnya melaksanakan ajaran sang Dewa dan berhasil, Chang’e pun turun ke bumi dan menemui Hong Yi selama sehari.

Legenda Kelinci Giok
Perayaan Festival Kue Bulan juga terdapat keterkaitan dengan Kelinci Giok (玉兔; Yùtù), teman setia Chang’e yang menemaninya selama tinggal di bulan. Kelinci Giok bertugas membuat ramuan keabadian, sembari menemani Chang’e agar tidak kesepian. Dahulu, di hutan tinggal tiga ekor binatang, yaitu rubah, kera, dan kelinci. Kaisar Langit ingin menguji kesetiaan ketiga hewan tersebut. Kaisar Langit turun ke hutan, lalu menjelma menjadi kakek tua yang tersesat di hutan dan kelaparan, kemudian meminta tolong kepada ke-3 binatang tersebut memberinya makanan. Sang kera mencari buah-buahan di hutan, dan si rubah menangkap ikan di sungai, sementara kelinci tidak dapat menemukan apa-apa. Kakek tua itu sedikit kecewa karena nyatanya mereka tidak bekerjasama, akibatnya kelinci tidak mampu membawa apa-apa. Sebagai gantinya, kelinci bersedia memasak untuk si kakek. Ketiga hewan tersebut kemudian membuat api dari kayu bakar. Meskipun begitu, kelinci tetap merasa bersalah, kemudian ia mengatakan bahwa sebagai ganti atas kegagalannya, ia bersedia mengorbankan diri untuk dimakan si kakek tua. Akhirnya kelinci itu pun melompat ke dalam api. Kaisar Langit terharu dengan pengorbanan si kelinci. Sang Kaisar pun menghidupkan kembali sang kelinci, sekaligus menjadikannya pembuat ramuan keabadian di kahyangan dan sang kelinci pun bekerja dengan rajin.

Namun, pada suatu hari, Ibu Ratu datang dan meminta tambahan ramuan keabadian untuk diberikan kepada Hou Yi, sang pemanah yang telah menolong rakyat yang tersiksa akibat adanya panas dari sepuluh matahari. Permintaan ini melanggar aturan langit, sehingga kelinci menolak. Ibu Ratu marah, dan memaksa kelinci untuk tetap menyerahkan ramuan keabadian tersebut sehingga kelinci pun takut dan mengikuti kehendak Ibu Ratu. Mendengar tersebut, Kaisar Langit menjadi murka kepada kelinci. Kelinci bersujud memohon pengampunan dan bersedia menerima hukuman apapun. Kaisar Langit akhirnya memberi kelinci kesempatan, namun ia harus tinggal di bulan menemani Chang’e, sembari tetap membuat ramuan keabadian. Sang kelinci lega dan dengan senang hati menjalankan keputusan Kaisar Langit. Ia pun segera pergi ke bulan dan tinggal di sana bersama Chang’e, serta terus melaksanakan tugasnya sebagai pembuat ramuan keabadian.

Pemberontakan Zhu Yuanzhang
Menurut catatan sejarah, kue bulan muncul pada zaman Dinasti Ming yang dikaitkan dengan kisah pemberontakan heroik Zhu Yuanzhang (朱元璋) yang memimpin para petani Han melawan pemerintah Mongol. Namun sebenarnya, kue bulan telah tercatat dalam sejarah di zaman Dinasti Song dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming berdiri. Versi lain mengatakan, cerita lain terkait asal-usul Festival Kue Bulan bermula saat Tiongkok dikuasai Mongol. Ketika itu kerajaan Mongol menjalankan pemerintahan di wilayah Cina, dengan nama Dinasti Yuan (1280-1368). Di saat itu dinamakan zaman Sin Tiaw Hiap Lu (a.k.a Yang Guo dan Xiao Long Ni) di mana kota Xiang Yang akhirnya jatuh ke tangan Mongol, dan seluruh Cina ada di bawah kekuasaan dinasti baru (Yuan). Pemberontakan menumbangkan Dinasti Yuan berlangsung terus menerus, dan belum berhasil. Akhirnya sekitar tahun 1360-an, muncul gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh seorang petani bernama Zhu Yuanzhang. Ia memimpin gerakan perlawanan kepada penjajah Mongol. Zhu dan penasehatnya bernama Liu Bowen, menyebarkan desas-desus bahwa ada penyakit yang tak tersembuhkan dimasyarakat, dan hanya dapat dicegah dengan memakan kue bulan yang sudah dipersiapkan secara khusus oleh mereka. Pada saat itu kebetulan jatuh pada pertengahan musim gugur, yaitu bulan 8 tanggal 15 (Imlek). Ternyata itu adalah satu siasat untuk menyebarkan pesan kepada rakyat, agar ikut mendukung pemberontakan menggulingkan penguasa Mongol.

Konon, penulisan pesan rahasia dilakukan dengan cara khusus, yakni dalam empat buah kue bulan, dan dikemas dalam satu kotak. Masing-masing kue itu harus dipotong menjadi empat bagian, sehingga ditotalkan mendapatkan enam belas potong kue, yang kemudian harus dirangkai sedemikian rupa sehingga pesan rahasianya dapat terbaca. Terdapat juga versi yang mengatakan bahwa pesan rahasia tersebut ditulis di kertas dan diposisikan dalam atau di tengah-tengah kuebulan.

Komersialisasi Kue Bulan
Seperti Natal di Amerika dan wilayah Barat lainnya, pedagang di Asia telah belajar cara mengembangkan dan mengkomersilkan festival-festival tradisional khususnya yang berbudaya Tionghoa sehingga dapat menguntungkan dalam berbagai aspek terutama dalam aspek ekonomi. Berbeda dari zaman dahulu, kini kue bulan sudah dipasarkan di seluruh wilayah Asia terutama pada saat menjelangnya Festival Kue Bulan atau Festival Musim Gugur. Maraknya penjualan Kue Bulan saat ini menimbulkan daya saing pasar yang besar antar penjual Kue Bulan. Dengan adanya tekanan untuk mengkomersialkan Festival Kue Bulan maka muncul kebutuhan untuk menghasilkan produk kue bulan yang eksotis dan inovatif. Zaman dahulu jenis isian atau rasa Kue Bulan sangat terbatas, diantaranya pasta biji teratai, pasta biji kacang hijau, kacang merah dan jenis kacang-kacang lainnya. Seiring bertambahnya waktu varietas Kue Bulan bertambah banyak dan unik seperti Kue Bulan rasa teh hijau dengan pasta lotus putih, Kue Bulan berisi es krim dengan susu, Kue bulan dengan bahan kulit dari cokelat hitam dan putih, Kue Bulan dengan isian hazelnut, salted egg yolk, cokelat, keju, daging babi, maupun isian dengan campuran minuman beralkohol seperti Baileys. Selain varietas isian dan kulit Kue Bulan yang meningkat, jenis kemasan produk Kue Bulan juga bertambah banyak dan eye catching untuk mengikat daya tarik konsumen. Berbagai jenis kemasan Kue Bulan berbentuk kotak hadiah, kaleng yang terhias, maupun dalam paket lentera kertas bermotif batik.

Komentar

Postingan Populer